Hidup kini kian seperti mimpi. Pada banyak
kemustahilan atau kemungkinannya. Seperti drama yang tak berbabak dan tak
bersekenario, ia datang dan pergi kapan saja, dengan kekacauan atau ketenangan
yang pura-pura. Ini ukuran kemanusian, bukan mendahului takdir yang gelap
tertutup tabir. Apa yang dahulu mustahil bisa mungkin. Apa yang mungkin bisa
berubah mustahil. Dan lagi-lagi, memang begitulah hidup dan juga mimpi. Sebab
hidup tak lagi harga untuk sebuah karya, kompetisi, apalagi jati diri. Sebab
hidup kini adalah uang. Sebab uang adalah hidup. Tak ada uang jangan berharap
hidup. Uang bagaikan Tuhan, bahkan bisa lebih Tuhan daripada Tuhan. Tuhan yang sebenarnya telah mati dari ingatan dan
hati. Tuhan dan uang lebih indah uang. Tuhan hanya tempat bersujud agar uang
segera datang.
Ketergantungan akan uang lebih tinggi daripada
ketergantungan pada Tuhan. Karena uang mampu melahirkan mimpi dengan begitu
cepat dan menghilangkan segala kepenatan hidup. Sedangkan Tuhan dianggap lamban
dalam menyelesaikan segala persoalan. Sungguh aneh dan berbahaya pola pikir
semacam ini. Sangat berbahaya dan mengerikan.
Karena kemudahan akses terhadap penurunan moral dan
kualitas SDM secara intelektual melebar dengan begitu cepat. Maka tak heran
bermunculanlah aktor-aktor baru dengan
segala macam permasalahan dan penyelesaiannya. Tidak perlu disebutkan satu per
satu disini, karena semua tahu daftar yang begitu menumpuk dan tebal. Untuk
mengingatnya pun tak sanggup.
Uang? Ada apa dengan uang? Siapa dia? Mengapa dia
mampu menghisap seluruh energi kehidupan? Mengapa dia mampu menina- bobokkan
segala aspek dan konsepsi? Atau, sebe narnya pemahaman yang semakin lemah dan
tidak mampu berkompetisi dalam kehidupan ini?
Ada Apa dengan Uang???
Memang, sebagian dari penyelesaian masalah hidup ini
memerlukan uang. Namun uang bukanlah segala-galanya. Dia hanyalah secarcik
kertas berwarna yang telah disepakati oleh suatu pemerintahan untuk menjadi
alat tukar menukar. Karena kesepakatan inilah maka dia bisa digunakan.
Siklus kehidupan yang mendadak bertambah membengkak
memaksa setiap orang untuk semakin agresif dalam melawan kehidupan. Sebuah
budaya konsumerisme telah menciptakan mimpi-mimpi yang rumit. Wajah-wajah yang
penuh gincu status, komoditas anak untuk menjadi pabrik uang atau
penyanyi-penyanyi yang berlabelkan black market, hingga kuis-kuis berhadiah
milyaran rupiah yang lebih banyak menjanjikan keberuntungan dari pada menempuh
pendidikan yang menelan biaya yang tak sedikit.
Bila dilihat dari sudut-sudut tertentu, uang
sebenarnya tidaklah ada arti apa-apa. Melainkan konsep pemahaman dalam cara
berpikir saja yang menjadikan uang mempunyai kekuatan. Pada banyak keganjilan
dan keanehannya uang sering kali menjadi pemicu konflik. Namun konflik-konflik
tersebut hanya beratas dasarkan uang. Pemahaman akan sebuat nilai untuk kehormatan
selalu menjadi pijakan yang di perjuangkan.
Pemahaman dan – lagi-lagi – pola pikir inilah penyebab
terjadinya konflik. Kehilangan sebuah materi seringkali di anggap kehilangan
martabat ataupun kehormatan. Lihat betapa ketidakseimbangan, ketika uang
(materi) yang berada ditangan hilang, kepanikan dan seribu macam konflik pun
muncul. Seolah-olah harta tersebut harus di dapatkan kembali walau sampai
memakan korban. Namun keterpurukan akan moral hanya menjadi sebuah wacan dalam
berbagai macam diskusi.
Lihat keganjilan dan keanehan dalam hidup ini. Ketika
uang menjadi prioritas yang dibanggakan dalam kemewahan dan dianggap mampu
mensejahterakan kehidupan, maka moralitas dan pendidikan atau pun kualitas SDM
sudah tidak menjadi prioritas dalam segenap proses.
Pertarungan ini pun berlanjut memasuki babak budaya
konsumerisme yang telah menciptakan manusia-manusia yang tidak bermoral,tidak
berintelektual, pemalas, terpendamnya potensi diri dan individualisme. Pemicu
budaya ini dilatar belakangi oleh berdirinya pabrik-pabrik raksasa di pemukiman
penduduk, berdirinya industri-industri hiburan, terputusnya akademik,
acara-acara televisi yang mempertontonkan mimpi-mimpi dan kemewahan.
Inilah siklus yang aneh. Uang benar-benar telah
merasuki alam pikiran. Menjadikan tuhan ataupun surga yang tak ternilai.
Meletakkan kehormatan dan kekuatan super power untuk meraih segala-galanya.
Seorang anak gadis kampung yang bukan siapa-siapa bisa menjadi komoditas yang
menghasilkan uang milyaran rupiah. Seorang anak yang masih ingusan pun bisa
berpesta pora dalam pernikahan atau ulang tahun dengan kekayaan dan
kedudukannya.
Sungguh ironis. Budaya hedonisme, budaya ke-bakhilan
(pelit), budaya ketidaktahuan, budaya yang tidak mencerminkan kemanusiaan. Yang
jelas uang dan uang. Kehormatan, mar tabat, kesuksesan, harga diri dan segudang
embel-embel aneh bergelantung di pundaknya.
Sebuah hidup yang terbalik dan lihatlah ucapan Nabi
mulia itu “sesungguhnya, hilangnya dunia ini disisi Allah, jauh lebih sederhana
dari terbunuhnya seorang muslim”.(H.R. Imam Tirmidzi). Artinya, dengan segala
hamparan isi dari bumi, baik itu di darat maupun di laut juga yang diperut bumi
semua itu lebih sederhana urusannya disisi Allah ketimbang hilangnya satu
nyawa. Karena nyawa milik Allah S.W.T.
Belum lagi caci maki terhadap seorang muslim, fitnah,
cemooh, hinaan dan ada sebuah gambaran bahwa ketika kekayaan berlimpah maka
tidak ada satupun mata yang tidak menghampirinya, namun ketika kemiskinan
melanda maka mata-mata tersebut lenyap entah kemana.
Sekali lagi, semua itu tidak ada artinya dihadapan
Allah s.w.t. bumi seisinya bagi Allah tidak ada arti apa-apa. Namun ironisnya
uang lebih berharga dari pada bumi seisinya di hadapan manusia, yang mana Allah
sendiri tidak memandang itu semua lebih berharga.
Pemandangan seperti ini sangatlah menyedihkan.
Pribadi-pribadi seperti ini,pribadi yang memerlukan bimbingan baik secara
rohani dan maupun intelektual. Rohani atau lebih tepatnya pemahaman akan aqidah
yang benar dan tepat yang menumbuhkan keimanan dan rasa kemanusian yang tinggi
menjadikan pribadi mulia di hadapan Allah maupun Alam. Ini pun harus didukung
oleh intelektualitas. Pendidikan yang baik dari keluarga, lingkungan maupun
akademis. Banyak orang memiliki title sarjana, gelar seribu macam gelar, namun
belum berarti dia berpendidikan.
Ucapan seorang Nabi mulia, memberikan sebuah gambaran
yang pasti, beliau berkata dalam menjawab pertanyaan seorang muslim, “Apakah
sebaik-baik tabiat yang dimiliki seorang muslim?” Rasulullah s.a.w menjawab,
“yaitu dapat menjaga keselamatann orang-orang muslim dari kejahatan
perkataannya dan tangannya.” (H.R. Muslim).
Ucapan ini sungguh besar maknanya. Menjaga
keselamatan, tidak hanya menjaga secara fisik, melainkan menjaga rasa aman
batin, pikirannya dan emosionalnya. Ketika seorang telah mendapatkan pemahaman
akan ajaran yang benar, aqidah yang benar, iman yang baik dan pendidikan yang
baik pula, maka dia akan mendapatkan kekayaan jiwa. Jiwa ini akan mengantarkan
dia kearah yang baik pula.
Pentingnya persepsi yang tepat dan benar dalam melihat
segala kemelut kehidupan memberikan pola pikir yang baik dan menumbuhkan
kedewasaan. Kedewasaan yang terbina dengan rapi akan semakin meninggikan
kehormatan diri dan orang lain. Bila ini semua ada dalam pribadi maka
penghambaan akan uang, tahta, kekuasaan akan sirna.
Maka
uang bukanlah kekuatan yang mampu menghisap energi kehidupan, melainkan uang
hanya pernak-pernik kehidupan yang perlu dihadapi dengan kekayaan jiwa dan
pemahaman yang bijak dan Allah lebih memandang nyawa saudara kita.
0 komentar:
Posting Komentar