Kamis, 27 Desember 2012

Ada Apa Dengan Uang



Hidup  kini kian seperti mimpi. Pada banyak kemustahilan atau kemungkinannya. Seperti drama yang tak berbabak dan tak bersekenario, ia datang dan pergi kapan saja, dengan kekacauan atau ketenangan yang pura-pura. Ini ukuran kemanusian, bukan mendahului takdir yang gelap tertutup tabir. Apa yang dahulu mustahil bisa mungkin. Apa yang mungkin bisa berubah mustahil. Dan lagi-lagi, memang begitulah hidup dan juga mimpi. Sebab hidup tak lagi harga untuk sebuah karya, kompetisi, apalagi jati diri. Sebab hidup kini adalah uang. Sebab uang adalah hidup. Tak ada uang jangan berharap hidup. Uang bagaikan Tuhan, bahkan bisa lebih Tuhan daripada Tuhan.  Tuhan yang sebenarnya telah mati dari ingatan dan hati. Tuhan dan uang lebih indah uang. Tuhan hanya tempat bersujud agar uang segera datang.
Ketergantungan akan uang lebih tinggi daripada ketergantungan pada Tuhan. Karena uang mampu melahirkan mimpi dengan begitu cepat dan menghilangkan segala kepenatan hidup. Sedangkan Tuhan dianggap lamban dalam menyelesaikan segala persoalan. Sungguh aneh dan berbahaya pola pikir semacam ini. Sangat berbahaya dan mengerikan.
Karena kemudahan akses terhadap penurunan moral dan kualitas SDM secara intelektual melebar dengan begitu cepat. Maka tak heran bermunculanlah  aktor-aktor baru dengan segala macam permasalahan dan penyelesaiannya. Tidak perlu disebutkan satu per satu disini, karena semua tahu daftar yang begitu menumpuk dan tebal. Untuk mengingatnya pun tak sanggup.
Uang? Ada apa dengan uang? Siapa dia? Mengapa dia mampu menghisap seluruh energi kehidupan? Mengapa dia mampu menina- bobokkan segala aspek dan konsepsi? Atau, sebe narnya pemahaman yang semakin lemah dan tidak mampu berkompetisi dalam kehidupan ini? 
Ada Apa dengan Uang???
Memang, sebagian dari penyelesaian masalah hidup ini memerlukan uang. Namun uang bukanlah segala-galanya. Dia hanyalah secarcik kertas berwarna yang telah disepakati oleh suatu pemerintahan untuk menjadi alat tukar menukar. Karena kesepakatan inilah maka dia bisa digunakan.
Siklus kehidupan yang mendadak bertambah membengkak memaksa setiap orang untuk semakin agresif dalam melawan kehidupan. Sebuah budaya konsumerisme telah menciptakan mimpi-mimpi yang rumit. Wajah-wajah yang penuh gincu status, komoditas anak untuk menjadi pabrik uang atau penyanyi-penyanyi yang berlabelkan black market, hingga kuis-kuis berhadiah milyaran rupiah yang lebih banyak menjanjikan keberuntungan dari pada menempuh pendidikan yang menelan biaya yang tak sedikit.
Bila dilihat dari sudut-sudut tertentu, uang sebenarnya tidaklah ada arti apa-apa. Melainkan konsep pemahaman dalam cara berpikir saja yang menjadikan uang mempunyai kekuatan. Pada banyak keganjilan dan keanehannya uang sering kali menjadi pemicu konflik. Namun konflik-konflik tersebut hanya beratas dasarkan uang. Pemahaman akan sebuat nilai untuk kehormatan selalu menjadi pijakan yang di perjuangkan.
Pemahaman dan – lagi-lagi – pola pikir inilah penyebab terjadinya konflik. Kehilangan sebuah materi seringkali di anggap kehilangan martabat ataupun kehormatan. Lihat betapa ketidakseimbangan, ketika uang (materi) yang berada ditangan hilang, kepanikan dan seribu macam konflik pun muncul. Seolah-olah harta tersebut harus di dapatkan kembali walau sampai memakan korban. Namun keterpurukan akan moral hanya menjadi sebuah wacan dalam berbagai macam diskusi.
Lihat keganjilan dan keanehan dalam hidup ini. Ketika uang menjadi prioritas yang dibanggakan dalam kemewahan dan dianggap mampu mensejahterakan kehidupan, maka moralitas dan pendidikan atau pun kualitas SDM sudah tidak menjadi prioritas dalam segenap proses.
Pertarungan ini pun berlanjut memasuki babak budaya konsumerisme yang telah menciptakan manusia-manusia yang tidak bermoral,tidak berintelektual, pemalas, terpendamnya potensi diri dan individualisme. Pemicu budaya ini dilatar belakangi oleh berdirinya pabrik-pabrik raksasa di pemukiman penduduk, berdirinya industri-industri hiburan, terputusnya akademik, acara-acara televisi yang mempertontonkan mimpi-mimpi dan kemewahan.
Inilah siklus yang aneh. Uang benar-benar telah merasuki alam pikiran. Menjadikan tuhan ataupun surga yang tak ternilai. Meletakkan kehormatan dan kekuatan super power untuk meraih segala-galanya. Seorang anak gadis kampung yang bukan siapa-siapa bisa menjadi komoditas yang menghasilkan uang milyaran rupiah. Seorang anak yang masih ingusan pun bisa berpesta pora dalam pernikahan atau ulang tahun dengan kekayaan dan kedudukannya.
Sungguh ironis. Budaya hedonisme, budaya ke-bakhilan (pelit), budaya ketidaktahuan, budaya yang tidak mencerminkan kemanusiaan. Yang jelas uang dan uang. Kehormatan, mar tabat, kesuksesan, harga diri dan segudang embel-embel aneh bergelantung di pundaknya.
Sebuah hidup yang terbalik dan lihatlah ucapan Nabi mulia itu “sesungguhnya, hilangnya dunia ini disisi Allah, jauh lebih sederhana dari terbunuhnya seorang muslim”.(H.R. Imam Tirmidzi). Artinya, dengan segala hamparan isi dari bumi, baik itu di darat maupun di laut juga yang diperut bumi semua itu lebih sederhana urusannya disisi Allah ketimbang hilangnya satu nyawa. Karena nyawa milik Allah S.W.T.
Belum lagi caci maki terhadap seorang muslim, fitnah, cemooh, hinaan dan ada sebuah gambaran bahwa ketika kekayaan berlimpah maka tidak ada satupun mata yang tidak menghampirinya, namun ketika kemiskinan melanda maka mata-mata tersebut lenyap entah kemana.
Sekali lagi, semua itu tidak ada artinya dihadapan Allah s.w.t. bumi seisinya bagi Allah tidak ada arti apa-apa. Namun ironisnya uang lebih berharga dari pada bumi seisinya di hadapan manusia, yang mana Allah sendiri tidak memandang itu semua lebih berharga.
Pemandangan seperti ini sangatlah menyedihkan. Pribadi-pribadi seperti ini,pribadi yang memerlukan bimbingan baik secara rohani dan maupun intelektual. Rohani atau lebih tepatnya pemahaman akan aqidah yang benar dan tepat yang menumbuhkan keimanan dan rasa kemanusian yang tinggi menjadikan pribadi mulia di hadapan Allah maupun Alam. Ini pun harus didukung oleh intelektualitas. Pendidikan yang baik dari keluarga, lingkungan maupun akademis. Banyak orang memiliki title sarjana, gelar seribu macam gelar, namun belum berarti dia berpendidikan.
Ucapan seorang Nabi mulia, memberikan sebuah gambaran yang pasti, beliau berkata dalam menjawab pertanyaan seorang muslim, “Apakah sebaik-baik tabiat yang dimiliki seorang muslim?” Rasulullah s.a.w menjawab, “yaitu dapat menjaga keselamatann orang-orang muslim dari kejahatan perkataannya dan tangannya.” (H.R. Muslim).
Ucapan ini sungguh besar maknanya. Menjaga keselamatan, tidak hanya menjaga secara fisik, melainkan menjaga rasa aman batin, pikirannya dan emosionalnya. Ketika seorang telah mendapatkan pemahaman akan ajaran yang benar, aqidah yang benar, iman yang baik dan pendidikan yang baik pula, maka dia akan mendapatkan kekayaan jiwa. Jiwa ini akan mengantarkan dia kearah yang baik pula.
Pentingnya persepsi yang tepat dan benar dalam melihat segala kemelut kehidupan memberikan pola pikir yang baik dan menumbuhkan kedewasaan. Kedewasaan yang terbina dengan rapi akan semakin meninggikan kehormatan diri dan orang lain. Bila ini semua ada dalam pribadi maka penghambaan akan uang, tahta, kekuasaan akan sirna.
Maka uang bukanlah kekuatan yang mampu menghisap energi kehidupan, melainkan uang hanya pernak-pernik kehidupan yang perlu dihadapi dengan kekayaan jiwa dan pemahaman yang bijak dan Allah lebih memandang nyawa saudara kita.

0 komentar:

Posting Komentar